Sabtu, 11 April 2009

KEMISKINAN, PENGANGGURAN DAN PERTANIAN


KEMISKINAN, PENGANGGURAN DAN PERTANIAN
By Vladimir Ageu de SAFI'I

Dalam Pembukaan Konstitusi RDTL pada Alenia terakhir dinyatakan: “Dengan sungguh-sungguh menegaskan kembali tekadnya untuk melawan segala bentuk tirani, penindasan, penguasaan dan pemisahan sosial, budaya dan keagamaan, untuk mempertahankan kemerdekaan nasional, menghormati dan menjamin hak-hak asasi manusia dan hak-hak asasi warga Negara…dengan tujuan untuk membangun suatu Negara yang adil dan makmur serta mengembangkan masyarakat yang bersatu dan bersahabat”.
Dengan demikian, munculnya permasalahan kemiskinan di negeri ini sangat bertentangan dengan bunyi Pembukaan Konstitusi tersebut, dan juga betentangan dengan bunyi Pasal-Pasal yang terkandung dalam Konstitusi, seperti: (1) Hak rakyat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat untuk menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan atau keyakinannya; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.
Dapat dikatakan bahwa kemiskinan merupakan teman atau saudara dekat dari masyarakat di sebuah negara miskin. Seseorang dalam keadaan miskin karena mereka benar-benar miskin, sehingga banyak ahli ekonomi yang menyatakan bahwa kemiskinan yang terjadi dalam suatu masyarakat menyerupai suatu lingkaran setan (vicious circle) yang sangat susah untuk diatasi secara tuntas.
Di negeri ini, bentuk-bentuk kemiskinan yang dialami oleh masyarakat sangatlah beragam dan berbeda akan bobotnya. Keragaman ini disebabkan oleh kondisi dan latar belakang masyarakat itu sendiri.
Sebagaimana diketahui, pada umumnya para pelaku ekonomi di negeri ini terdiri atas petani kecil, peternak kecil, nelayan kecil, pengrajin kecil dan pengusaha/pedagang kecil yang tinggal atau berada di area pedesaan. Tingkat usaha yang mereka lakukan juga sangat beragam dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda pula.
Selain itu juga, terdapat para pelaku sektor informal yang berada di perkotaan. Kebanyakan dari mereka berada di mercadu-merkadu, pinggiran jalan, serta rumah-rumah yang dijadikan sebagai tempat usaha. Bentuk-bentuk usaha yang mereka lakukan seperti berjualan kebutuhan pokok (beras, jagung, sayur-mayur, ikan, dan kebutuhan rumah tangga) dengan cara dijajakan di merkadu, mendirikan kios di rumah atau pinggiran jalan, menggunakan gerobak atau dengan dipikul (ai-lebo). Terdapat juga beberapa orang yang menjual kayu bakar, bunga-bunga hias, serta kegiatan-kegiatan lain yang kesemuanya melibatkan tenaga kerja keluarga.
Khusus di Ibukota Dili, kegiatan sektor informal tidak semata-mata dilakukan oleh penduduk pribumi. Bahkan untuk kegiatan perekonomian kelas menengah ke atas banyak dilakukan oleh para penduduk asing, seperti dari China, Singapura, Bangladesh, Indonesia, Vietnam, Thailand, Australia dan Portugal.
Sementara itu, bagi para petani yang kebetulan memiliki wilayah yang cocok untuk komoditas perkebunan (kopi, kemiri, dan vaneli), tingkat ekonomi mereka terbilang cukup memadai. Begitu juga bagi para petani perkebunan lain yang menanam jambu, mangga, apel, kelapa, pisang dan lainnya, hasil-hasil perkebunan tersebut relatif cukup membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.
Kondisi yang hampir sama juga terlihat di sepanjang pesisir kota Dili serta Pulau Atauro, di mana sebagian pelaku ekonomi kecil seperti para nelayan dan para penjual ikan terlihat mengalami kemajuan ekonomi dari hasil tangkapan dan penjualan ikan mereka. Hal serupa juga terlihat pada nelayan yang tinggal di Pantai Com dan Walu (Lautem) yang mengalami peningkatan pendapatan (khususnya dari para turis), meskipun tidak tetap.
Peningkatan pendapatan juga dialami oleh penduduk yang menjual ketupat dan ikan yang berada di Karabela dan Laga (Baucau) serta Livai (Lautem). Strategi mempertahankan hidup ini dilakukan dengan memanfaatkan keberadaan para penumpang bus jurusan Dili – Lospalos. Begitu juga yang dialami oleh para penjual ketupat di beberapa distrik lainnya, seperti di Loes/Distrik Liquisa.
Di Ermera, Liquisa, dan Maubisse (Ainaro), sejumlah petani dan kelompoknya yang menanam dan memiliki tanaman kopi juga mendapatkan penghasilan yang “lumayan besar” lantaran harga komoditas ini cukup stabil. Selain itu, kondisi yang relatif baik nampak pula ditunjukkan oleh para petani yang memiliki tanah subur dengan saluran irigasi yang memadai seperti di Bobonaro, Covalima, Aileu, Manatuto, dan Viqueque. Namun bagi para petani yang mengandalkan tanaman pangan dengan wilayah yang relatif kering, tingkat ekonomi mereka memprihatinkan.
Para peternak di Distrik Manufahi, betapapun daerah ini dikenal sebagai gudang ternak (sapi) serta beberapa distrik lainnya, tidak menunjukkan status ekonomi yang lebih baik ketimbang para petani yang menanam tanaman pangan. Para peternak ini sudah sejak lama takluk dengan para pembeli (pedagang) dan konsumen yang bersifat fluktuatif. Demikian juga para nelayan kecil di pesisir pantai selatan, kondisi mereka tidak dapat digolongkan mampu secara ekonomis.
Masih berdasarkan observasi mata, nampak pula ada peningkatan pendapatan dari para pemuda yang menjadi penggali pasir di sekitar Sungai Comoro beserta pemilik angkutan truknya. Banyaknya kegiatan pembangunan sarana fisik (gedung pemerintahan, pembangunan rumah, jalan raya, dsb.) cukup membantu para buruh kasar tersebut dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Meskipun begitu, persoalan lain yang menjadikan pelaku ekonomi di negeri ini (lebih-lebih di pedesaan) agak sulit berkembang adalah bahwa mereka jauh dari permintaan (pasar). Jauh bukan hanya dalam arti fisik saja, tetapi lebih penting adalah aksesibilitas. Para pelaku ekonomi kecil-kecilan ini memasuki pasar pembeli (buyer market) secara individual tanpa dukungan kelembagaan yang memadai. Akibatnya, posisi tawar mereka sangat lemah. Meskipun agak terlambat, petani kopi di Ermera, Liquisa dan Ainaro, saat ini mulai merasakan bahwa harga kopi mereka sangat ditentukan oleh pembeli (pedagang skala menengah dan besar). Selain itu juga, kondisi kemampuan sumber daya manusia yang sangat minim turut pula menjadi faktor yang mengungkung para pelaku ekonomi di negeri ini.
Persoalan mendasar tersebut, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah mengakar pada diri pelaku ekonomi rakyat Timor Leste secara turun-temurun. Sistem nilai budaya ini, mungkin pula yang banyak mendeterminasi perilaku aktor ekonomi, termasuk di dalamnya cara pandang mengenai: tatacara usaha/bisnis, cara bekerja, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategi menghadapi resiko, dsb. Oleh karena itu, penting untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh para pengambil kebijakan (decision maker) bahwa program pembangkitan/pemberdayaan perekonomian masyarakat, sebaiknya dimulai dengan program rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) guna mengubah inner life dan mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan pasar untuk maju.
Kondisi lain adalah membanjirnya para tenaga kerja dan pelaku ekonomi asing turut memperumit sirkulasi perekonomian dalam negeri. Terkait dengan hal ini, Presiden Ramos Horta (Tabloid Semanal, 16/3/09) menyatakan agar masyarakat menanggapinya dengan penuh bijaksana. Himbauan ini, pada satu sisi bersifat moralistik, yakni sebagai pendorong semangat kerja bagi penduduk. Sementara pada sisi lain, akan semakin memperburuk kondisi kehidupan rakyat ketika dihubungkan dengan tingginya angka pengangguran dan terbatasnya lapangan pekerjaan.
Melihat kondisi demografi (kependudukan) Timor Leste, berdasarkan sensus 2004, negeri ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 923.198 jiwa, dengan penduduk laki-laki sebanyak 469.919 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 453.279 jiwa. Secara nasional, jumlah keluarga mencapai 194.962 rumah tangga dengan angka rata-rata 4,71 orang per rumah tangga.
Sedangkan jika dilihat dari segi usia, UNDP (2007) menyatakan bahwa jumlah penduduk usia produktif (15-65 tahun) mencapai 492.243 jiwa atau sekitar 53,32 persen. Untuk penduduk usia muda (0-14 tahun) mencapai 398.811 jiwa atau sekitar 43,20 persen, dan penduduk usia tua (lebih dari 65 tahun) sebanyak 32.144 jiwa atau sekitar 3,48 persen. Rasio ketergantungan atau perbandingan penduduk usia tidak produktif terhadap penduduk produktif sebesar 88 persen.
Sebagai gambaran secara umum, berdasarkan studi dari Laporan Pembangunan Manusia Global 2002 (UNDP, 2002) terhadap 173 negara di dunia, diketahui bahwa kinerja pendapatan per kapita tertinggi adalah negara Luxembourg (Eropa) dengan pendapatan per kapitanya mencapai US$ 50 ribu, dan terrendah adalah negara Sierra Leone (Afrika), yaitu US$ 490. Sementara itu, berdasarkan sensus UNDP 2004 untuk Timor Leste, pendapatan per kapitanya sebesar US$ 450. Dengan asumsi tidak adanya perubahan yang signifikan selama dua tahun (2002 – 2004) secara kasar dapat disimpulkan bahwa pendapatan per kapita penduduk Timor Leste masih lebih rendah dibading pendapatan per kapita penduduk negara termiskin di dunia (Sierra Leone).
Terkait dengan kondisi masyarakat, berdasarkan Laporan Pembangunan Nasional Timor Leste tahun 2002, jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin mencapai 40% dengan pendapatan kurang dari US$ 0,55 per orang per hari atau pendapatan per kapitanya kurang dari US$ 15,44 per bulan. Sebagian besar dari jumlah tersebut berada atau tinggal di area pedesaan dan bergantung pada sektor pertanian, di mana metode pengolahan/bercocok tanam yang dipergunakan masih sangat tradisional dengan orientasi subsisten.
Rendahnya tingkat pendapatan per kapita ini tentunya berdampak pada kemampuan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan rendahnya kualitas penduduk secara umum, lebih-lebih bagi mereka yang tinggal di area pedesaan. Selain itu, UNDP menyatakan bahwa banyak anggota masyarakat yang berpandangan jika kesempatan kerja di negeri ini sangat terbatas dan angka pengangguran terus bertambah.
Sempitnya lahan dan kekurangsuburan areal pertanian, tidak mendukungnya sistem pemasaran produk, keterbatasan sarana infrastruktur, rendahnya tingkat pendidikan penduduk, buruknya iklim investasi, lamanya praktek kolonialisme, munculnya kegiatan-kegiatan yang bersifat memanjakan penduduk, konflik, adat dan budaya, perilaku dan mentalitas, serta ketidakstabilan pemerintahan telah dinilai oleh sebagian kalangan sebagai penyebab munculnya kemiskinan di negeri Rakyat Maubere-Buibere ini.
Itu semua merupakan tantangan bagi pemerintah ataupun negara (juga masyarakat dari suatu negara) untuk mengangkat tingkat kehidupan mereka, ataupun mengurangi beban berat yang harus dipikul oleh rakyat miskin. Hidup miskin pasti bukan pilihan setiap orang, dan tak ada orang yang ingin hidup miskin. Tetapi, pada kenyataannya, mereka benar-benar dalam keadaan miskin atau serba kekurangan.
Jika kita telusuri lebih lanjut, kemiskinan telah menjadi masalah fenomenal sepanjang perjalanan sejarah negara-negara modern dengan konsep nation state-nya, sejarahnya para negara yang rata-rata salah dalam memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam kasus negara yang salah urus tersebut, tidak ada persoalan yang lebih besar yang dihadapi, selain daripada persoalan kemiskinan.
Kemiskinan telah membuat sekian banyak anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan dalam membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan telah menyebabkan jutaan rakyat dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papannya dilakukan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup/safety life (James. C. Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh bekerja sepanjang hari, atau para pemuda menjadi buruh kasar bangunan tetapi mereka menerima upah yang rendah.
Ada argumentasi sederhana yang datang dari negara-negara yang sudah maju bahwa suatu negara menjadi miskin jika membiarkan penduduknya tumbuh “menurut deret ukur”. Penduduk yang tumbuh tak terkendali pasti cepat menurun kemakmurannya karena produksi pangan tumbuh lambat ”mengikuti deret hitung”. Inilah teori sedih (dismal) dari Thomas Robert Malthus (1817) yang mengakibatkan ilmu ekonomi disebut sebagai ilmu yang memilukan (The dismal Science) oleh Thomas Carlyle (1849). Untuk tidak menyerah begitu saja pada pandangan Carlyle tersebut, maka Mancur Olson dan Satu Kahkinen menerbitkan buku A Not-So-Dismal Science (Oxford, 2000) yang mengacu pada penelitian mendalam “dari bawah” yang meskipun mahal dan memakan banyak energi, toh dalam jangka panjang “jauh lebih murah”. Artinya, teori tekanan/ledakan penduduk, tidak sepenuhnya benar.
Di kawasan Asia, kita sering mendengar nama Bangladesh, yakni sebuah negara dengan penduduk sekitar 132 juta jiwa dan saat ini adalah negara berpenduduk terbesar nomor 8 di dunia. Bangladesh telah dijadikan sebagai “simbol kemiskinan Asia” sehingga banyak “pakar kemiskinan” seluruh dunia yang merasa “belum pakar” jika belum datang atau mempelajari masalah kemiskinan di negara ini. Julukan “kemiskinan” yang melekat dalam negara Bangladesh adalah “International Basketplace”. Istilah International Basketplace ini dikenalkan oleh Robert McNamara, ketika itu Presiden Bank Dunia, untuk menggambarkan contoh kemiskinan yang sangat parah.
Memang benar, kebanyakan orang merasa hanya dapat belajar dari masyarakat/bangsa yang sudah lebih maju, dan lebih kaya dari kita, dan bagaimana kita dapat belajar untuk menuju ke sana. Namun yang lebih benar, proses kemajuan negara-negara industri maju banyak yang tidak serta- merta bisa kita tiru, sedangkan dari negara-negara yang masih “di belakang kita”, kita justru dapat lebih banyak belajar untuk menghindari hal-hal dan kebijakan-kebijakan keliru yang dilakukan negara-negara yang masih terbelakang tersebut (Mubiyarto, 2004).
Pada kenyataannya, kaum miskin di Timor Leste telah menunjukkan kemampuan yang kuat untuk mengatasi masalah hidupnya sendiri dan bertahan sekalipun dalam situasi politik dan kondisi ekonomi yang sulit. Salah satu dari strategi kemampuan utamanya ialah apa yang disebut Informal Food Sector (IFS). Kegiatan mereka yang paling tampak adalah memproduksi makanan (di perkotaan, dan pedesaan), pengolahan makanan, melayani makanan untuk pesta-pesta, dan penjual eceran makanan segar (sayur-sayuran, buah-buahan, dan sebagainya) atau makanan yang diolah dan dijual di jalanan atau kaki lima (paung/roti, pisang goreng, dsb). Strategi ini memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja di sektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Bahkan setrategi Informal Food Sector (IFS) ini dapat menyumbang kepada keamanan pangan dengan menyediakan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Nasional. Strategi ini bersumber dari bahan baku pertanian. Artinya, sektor pertanian telah menunjukkan peranannya sebagai instrumen pengentasan kemiskinan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar